Kamis, 01 November 2012

Artikel Realitas sosial (Tugas 5)




Sahabat tentu kita pernah melihat seorang pemulung sampah?, terkadang sungguh ironis kehidupan di dunia ini, utamanya ketika di suatu tempat, orang bekerja di kursi empuk, ber AC, di dalam gedung eksklusif dengan gaji menggiurkan. Tapi di tempat lain, sekelompok orang harus berpeluh keringat di lokasi yang berbau busuk penuh lalat, di bawah terik matahari/ atau harus basah bercampur kotoran dan lumpur, mencari rizki untuk bertahan hidup dengan penghasilan tak seberapa, bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan hidup. 

Inilah mungkin seutas kalimat untuk menggambarkan betapa keras, getir dan besarnya perjuangan seorang pemulung dalam mengais rezeki diantara tumpukan dan onggokan sampah. Saat orang lain membuang barang yang dianggap sudah tak berguna lagi. namun bagi mereka, buangan tersebut menjadi begitu bermanfaat dan berkah sebagai sumer rizki bagi mereka.

Mencermati liku-liku aktifitas keseharian para pemulung di lokasi Tempat Pembuangan Sampah yang berada di Jalan Baja, Kelurahan Sei Sigiling, Kecamatan Padang Hilir Kota Tebingtinggi, memberi cerita menarik banyak hal yang dapat memberikan filosofi hidup. 

Di lokasi pembuangan limbah sampah yang berdekatan dengan kompleks perkuburan Cina itu, siang hari sekitar jam 10.00-17.30 sore, puluhan para pemulung mengais dan membongkar sampah buangan untuk mencari barang-barang bekas yang dapat mereka jual kembali.

Walau hasil penjualan barang bekas tersebut, hanya cukup untuk makan malah kadang tak sesuai harapan, namun peluh, keringat, lelah tak membuat mereka tetap merasa bersyukur dan terus bekerja berpeluh keringat. 
Subhanallah, Tak ada keraguan sedikit pun membersihkan kotoran air berbau yang melekat pada plastic, botol, kertas, maupun besi, agar dapat terjual dengan harga maksimal. Karena jika barang yang mereka dapatkan basah, maka harganya pun akan jauh lebih murah.

Harga 1 kilogram tas plastic kresek kering, laku terjual dengan harga hanya Rp. 1100 s/d 1200 rupiah, sedangkan dalam kondisi basah, hanya dihargai penampung senilai Rp. 700 hingga 800 rupiah/ kilogram. Sementara untuk kertas Koran laku dijual dengan harga Rp. 400 per kilogram. Sementara botol plastic air mineral bisa terjual sekitar Rp. 4000 per kilogram. Subhanallah.

Setiap orang, kadang hanya bisa mendapatkan uang kurang dari Rp.10.000. Itu pun terkadang yang dialami oleh Diana, seorang ibu yang mengais rizki untuk makan anak-anaknya di TPA Jalan Baja, Kelurahan Sei Segiling, Tebingtinggi.

Diana sangat bersyukur, biarpun Ia harus berteman dengan tumpukan sampah, karena tanpa mengeluarkan modal sedikitpun, jerih payahnya membongkar sampah, bersahabat dengan bau tak sedap, menghasilkan rizki untuk membantu suaminya menutupi biaya kebutuhan rumah. 

Dan tak jarang banyak orang menganggap, profesi pemulung ini adalah pekerjaan yang hina, tapi bagi Diana, sebatas halal dan tidak merugikan orang lain, Ia tetap yakin, ini sangat lebih baik dari pekerjaan menjadi seorang pelacur.

Anak-anak Diana, yang masih kecil pun sempat bertanya, mengapa ibunya harus menjadi pemulung. Butuh lama memberi penjelasan kepada anaknya, tapi kini mereka sudah mulai bisa memahaminya. 

Suaminya yang berprofesi sebagai supir truk, juga sering memberi nasehat, agar Diana tidak terlalu memaksakan diri dalam bekerja mengais rupiah, di onggokan sampah. Namun Diana tak ingin hanya menjadi istri yang melihat suaminya berjuang tanpa Ia bantu. Walau Ia bekerja keras, dari pagi hingga sore Ia tetap memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. 

Setiap hari sebelum siap bekerja, Ia mencuci dan memasak di rumah. Biasanya sekitar jam 10.00 hingga jam 17.30 sore/ Ia mengais sampah/ dan membersihkan barang bekas yang didapat. 

Karena truk sampah milik Pemko masuk membuang sampah 2 kali dalam sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Penghasilan yang didapat tiap bulannya pun takbanyak, rata-rata mencapai Rp. 400.000 hingga Rp. 450.000.

Diana pun bersyukur, meski uang yang Ia dapatkan tak banyak, setidaknya bisa Ia gunnakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya, dan bisa Ia tabung untuk keberlanjutan hidup mereka, jika kelak suaminya sudah tak bisa memberi nafkah kepadanya atau sakit dan tak menghasilkan uang, Subahanallah persiapan yang luar biasa lalu bagaimana dengan kita sahabat?.